BAB I
PENDAHULUAN
Ekonomi syariah mendorong bergeraknya sektor riil karena sifatnya yang berbasis keadilan dan transparansi. Sasarannya adalah kesejahteraan umat manusia, mendorong martabat dan kehormatan umat manusia, bukan hanya sebagai objek, tapi juga subjek. Paradigma ekonomi syariah adalah mengeluarkan masyarakat Indonesia dari kemiskinan dan pengangguran. Karena itu, ekonomi syariah ini harus terus didorong agar menjadi ekonomi alternatif. Ekonomi syariah merupakan ekonomi alternatif yang cocok dengan jiwa dan semangat bangsa Indonesia. Ekonomi syariah harus menjadi pilihan ideologi ekonomi RI di masa depan.
Di dalam Islam, aktivitas keuangan dan perbankan dipandang sebagai wahana bagi masyarakat untuk membawa mereka kepada, paling tidak, pelaksanaan dua ajaran Qur’an yaitu prinsip At-Ta’awun (saling membantu dan saling bekerja sama di antara anggota masyarakat untuk kebaikan) dan prinsip menghindari Al-Iktinaz (menahan dan membiarkan dana menganggur dan tidak diputar untuk transaksi yang bermanfaat), sebagaimana terungkap dalam kedua ayat di atas.
Mainstream kebijakan ekonomi nasional harus berbasis keadilan, mendorong semangat entrepreneurship masyarakat. Bank syariah adalah alternatif yang sangat tepat. Sistem perbankan syariah berbeda dengan sistem perbankan konvensional karena sistem keuangan dan perbankan syariah adalah merupakan subsistem dari suatu sistem ekonomi Islam yang cakupannya lebih luas. Oleh karena itu, perbankan syariah tidak hanya dituntut untuk menghasilkan profit secara komersial, namun dituntut untuk secara sungguh-sungguh menampilkan realisasi nilai-nilai syariah.
Diantara berbagai macam bentuk transaksi dalam Perbankan Syari’ah, salah satunya adalah Mudharabah , inilah yang akan kita bahas pada makalah ini, apa pengertian dari mudharabah itu sendiri? apa landasan syari’ahnya? Rukun-rukunnnya? jenis-jenisnya? syarat-syaratnya? dan sebagaimana.
Semoga bisa memberikan sedikit pencerahan sehingga bisa memberikan pemahaman yang baik tentang perbankan itu sendiri sehingga sistem perekonomian Islam dapat terimplementasi dengan baik pada berbagai lembaga-lembaga keuangan, termasuk Bank Syari’ah.
BAB II
MUDHARABAH
A. Pengertian
Secara bahasa mudharabah berasal dari akar kata dharaba - yadhribu - dharban yang bermakna memukul. Dengan penambahan alif pada dha', maka kata ini memiliki konotasi "saling memukul" yang berarti mengandung subjek lebih dari satu orang. Para fukoha memandang mudharabah dari akar kata ini dengan merujuk kepada pemakaiannya dalam al-Qur'an yang selalu disambung dengan kata depan "fi" kemudian dihubungkan dengan "al-ardh" yang memiliki pengertian berjalan di muka bumi. Ini merujuk kepada usaha perniagaan pada zaman dahulu yang dilakukan dengan cara berjalan ke tempat-tempat yang jauh, misalnya dari Makkah ke Syam dan ke Yaman.
عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an” (QS. Al Muzammil:20)
Mudharabah merupakan bahasa yang biasa dipakai oleh penduduk Irak sedangkan penduduk Hijaz lebih suka menggunakan kata "qiradh" untuk merujuk pola perniagaan yang sama. Mereka menamakan qiradh yang berarti memotong karena si pemilik modal memotong dari sebagian hartanya untuk diniagakan dan memberikan sebagian dari labanya. Kadang-kadang juga dinamakan dengan muqaradhah yang berarti sama-sama memiliki hak untuk mendapatkan laba karena si pemilik modal memberikan modalnya sementara pengusaha meniagakannya dan keduanya sama-sama berbagi keuntungan.
Dalam istilah fiqih muamalah, mudharabah adalah suatu bentuk perniagaan di mana si pemilik modal menyetorkan modalnya kepada pengusaha, yang selanjutnya disebut mudharib, untuk diniagakan dengan keuntungan akan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak sedangkan kerugian, jika ada, akan ditanggung oleh si pemilik modal.
Mudharabah merupakan jenis akad tidak lazim yaitu suatu akad di mana salah satu pihak yang melaksanakan kontrak ini dapat membatalkan kontraknya tanpa harus menunggu persetujuan dari pihak yang lain. Mudharabah dalam hal ini mirip wadhi’ah.
Para ulama sepakat bahwa landasan syari’ah mudharabah dapat ditemukan dalam al-Qur'an, as-Sunnah, Ijma' dan qiyas.
1. Al-Qur'an
"Dan orang-orang yang lain berjalan di muka bumi mencari keutamaan Allah" (QS. al-Muzammil : 20).
Ayat ini menjelaskan bahwa mudharabah (berjalan di muka bumi) dengan tujuan mendapatkan keutamaan dari Allah (rizki). Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
"Maka apabila sholat (jum'at) telah ditunaikan, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah keutamaan Allah.” (QS. al-Jum'ah: 10).
Ayat-ayat senada masih banyak ditemukan dalam al-Qur'an yang dipandang oleh para fuqaha sebagai basis dari diperbolehkannya mudharabah. Dipandang secara umum, kandungan ayat di atas mencakup usaha mudharabah karena mudharabah dilaksanakan dengan berjalan-jalan di muka bumi dan ia merupakan salah satu bentuk mencari keutamaan Allah.
2. As-Sunnah
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Abbas bin Abdul Muttholib apabila membayarkan hartanya untuk mudharabah memberikan persyaratan kepada sang Mudharib agar tidak menuruni lembah atau membeli binatang yang berparu-paru basah. Jika ia tidak mengindahkan persyaratan ini, maka ia harus menanggung resiko yang terjadi karenanya. Persyaratan ini disampaikan kepada Rasulullah SAW dan beliau membolehkannya." (HR. Thabrani dalam al-Ausath dengan sanad yang lemah).
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tiga perkara yang di dalamnya terdapat berkah yaitu jual beli secara tangguh, mudharabah dan mencampur gandum dan jelai untuk kepentingan keluarga dan bukan untuk dijual". (Hadis inipun sanadnya lemah).
3. Ijma'
Diriwayatkan dari sejumlah sahabat bahwa mereka membayarkan harta anak yatim secara mudharabah dan tak seorangpun ada yang menyangkal hal itu. Hal ini jelas merupakan suatu bentuk ijma' di kalangan para sahabat
4. Qiyas
Mudharabah dapat dipandang sama dengan Musaqah yang memang dihajatkan dalam masyarakat. Ini disebabkan karena ada orang yang punya kebun atau tanah pertanian tetapi tidak memiliki kehlian untuk merawatnya dan memerlukan orang lain yang lebih ahli untuk mengelola kebun dan tanamannya itu. Dengan demikian dapat dipertemukan sinerji antara pemilik kebun dan pengelolanya kemudian berbagi keuntungan dari hasil yang telah dipetik.
C. Rukun Mudharabah
Menurut madzhab Hanafi rukun mudharabah itu ada dua yaitu Ijab dan Qabul. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun mudharabah ada tiga macam yaitu adanya pemilik modal dan mudharib, adanya modal, kerja dan keuntungan dan adanya shighat yaitu Ijab dan Qabul.
D. Jenis-Jenis Mudharabah
Secara umum mudharabah dapat dibagi menjadi dua macam golongan yaitu mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah. Yang dimaksud dengan mudharabah muthlaqah adalah konttrak mudharabah yang tidak memiliki ikatan tertentu. Misalnya dalam ijab si pemilik modal mengatakan " Aku membayar harta ini sebagai modal mudharabah dan keuntungan akan kita bagi 60% dan 40%". Kalimat ini tidak mengandung ikatan apa-apa seperti tidak menyebutkan usaha apa yang akan dikerjakan dengan modal mudharabah dan ketentuan-ketentuan lain.
Sementara itu mudharabah muqayyadah adalah jenis mudharabah yang pada akadnya dicantumkan persyaratan-persyaratan tertentu misalnya hanya boleh berusaha di kota tertentu, untuk jual beli barang tertentu, dalam waktu tertentu atau dengan orang tertentu. Ikatan-ikatan ini membuat mudharabah menjadi terikat dan sempit.
E. Sifat Akad Mudharabah
Kontrak mudharabah sebelum diimplementasikan secara nyata dalam usaha oleh sang mudharib belum menjadi akad lazim. Artinya ketika akad sudah disetujui oleh si pemilik modal dan pengusaha, masing-masing pihak masih memiliki hak untuk membatalkan akad itu. Misalnya si pemilik modal menarik kembali modalnya atau pengusaha mengembalikan modalnya kepadanya. Pembatalan semacam ini tidak menganggu sama sekali substansi mudharabah. Hanya saja ketika akad ini sudah nyata-nyata dilaksanakan oleh sang mudharib, maka ketika itu ia berubah menjadi akad lazim dan tidak diperbolehkan salah satu pihak untuk membatalkan tanpa persetujuan dari pihak yang lain.
F. Syarat-Syarat Mudharabah
Persyaratan dalam akad mudharabah dapat merujuk kepada pihak yang melakukan akad seperti pemodal dan pengusaha, modal yang disetor dan keuntungan yang akan diraih. Adapun syarat utama bagi pemodal dan mudharib (Aqidaan) adalah keduanya harus memiliki kemampuan untuk diwakili dan mewakilkan. Hal ini dikarenakan sang mudharib mengelola modal orang lain dan ini mengandung makna perwakilan. Tidak disyaratkan mudharabah harus dilakukan oleh seorang Muslim, ia dapat diusahakan oleh orang-orang non-Islam.
Persyaratan yang berkaitan dengan modal yang disetor antara lain:
1. Bahwa modal itu harus berupa mata uang yang berlaku di pasaran. Tidak diperbolehkan modal yang disetor itu dalam bentuk barang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Ini dimaksudkan agar nilai modal yang disetor itu mudah ditentukan. Seandainya modal itu berupa barang, maka kemungkinannya sulit menentukan nilai yang paling tepat dan berakibat pada ghoror yang mungkin akan menjadi faktor pemicu persengketaan di kemudian hari.
2. Modal yang disetor harus diketahui ukurannya. Jika tidak diketahui ukurannya akan menimbulkan ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan.
3. Modal yang disetor harus berbentuk uang yang dihadirkan ketika usaha mudharabah dilakasanakan dan bukan berupa utang atau harta lain yang tidak dapat dihadirkan.
4. Modal yang disetor harus diserahkan kepada sang mudharib. Bilamana tidak terjadi penyerahan modal kepadanya maka tidak ada makna bagi mudharabah karena tidak mungkin diimplementasikan secara nyata.
Persyaratan yang berkaitan dengan keuntungan antara lain:
1. Keuntungan harus dapat diketahui ukurannya. Masing-masing pihak harus mendapatkan penjelasan yang benar, terang dan memadai tentang porsi keuntungannya. Tidak dibenarkan porsi keuntungan ini tidak diterangkan kepada mereka. Jika memang dalam akad tersebut tidak dijelaskan masing-masing porsi, maka pembagiannya menjadi 50% dan 50%. Hal ini dikarenakan akad mudharabah mengandung pengertian pembagian keuntungan 50% dan 50% karena ia merupakan bentuk dari musyarokah yang menghendaki persamaan dalam porsi. Pertanyaan, jika dalam akad mudharabah disyaratkan bahwa kerugian yang timbul akan ditanggung oleh sang mudharib bagaimanakah hukumnya? Menurut madzhab Hanafi, persyaratan ini batal tetapi tidak membatalkan hukum mudharabah yang sedang diimplementasikan. Artinya mudharabah tetap sah dan tetap dapat dilanjutkan.
2. Keuntungan merupakan bagian yang dibagi bersama dengan perbandingan yang tegas seperti 30% : 70% atau 40% : 60% misalnya. Tidak diperbolehkan pembagian keuntungan dengan menyatakan nilai nominal misalnya Rp. 100.000,- bagi si pemodal atau Rp. 80.000,- bagi sang mudharib karena hal itu belum tentu mencerminkan keuntungan sebenarnya yang diraih. Berapapun keuntungan yang direalisasikan dalam mudharabah, maka hal itu harus dibagi bersama-sama kepada masing-masing pihak.
G. Kedudukan Hukum Mudharabah yang Sah
1. Bagi sang mudharib yang mengelola aset pemilik modal, maka kedudukan hukumnya adalah sebagai orang yang diberi amanat seperti halnya dalam wadhi’ah. Ia menerima titipan dari sang pemilik modal tanpa ada penggantian seperti dalam jual beli. Bila mana ia melakukan transaksi apapun dalam usaha ini, maka itu semua dilakukan dalam kapasitasnya sebagai seorang wakil.
2. Berkaitan dengan pola pengelolaan mudharabah oleh sang mudharib, maka kedudukannya bisa berubah dengan mengacu kepada jenis-jenis mudharabah yang dipilih. Kalau ia muthlaqoh, maka sang mudharib bebas untuk melakukan usaha selama hal itu masih dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh syara'. Dalam hal mudharabah muqayyadah, maka sang mudharib tidak diperbolehkan bergerak leluasa dan bebas memilih peluang usaha yang ada. Ia harus tunduk kepada persyaratan dari pihak pemodal.
Ketentuan hukum tentang pengelolaan mudharib dalam mudharabah ada tiga macam:
a. Hal-hal yang dapat dilaksanakan oleh mudharib di mana hal itu dianggap sudah menjadi kebiasaan menurut adat istiadat. Misalnya melakukan jual beli, mewakilkan kepada orang lain dan lain-lain.
b. Hal-hal bukan menjadi wilayah kekuasaannya kecuali memang diberikan izin untuk mengelola dengan pendapatnya sendiri. Misalnya si pemodal mengatakan "Niagakan hartaku ini dengan mudharabah dan kamu dapat memanfaatkan pendapatmu sendiri di dalamnya atau mewakilkannya kepada orang lain.”
c. Hal-hal yang tidak boleh dilaksanakan kecuali telah mendapatkan izinnya secara terang seperti memberikan hibah kepada orang lain.
H. Mudharib Melaksanakan mudharabah yang Kedua
Yang dimaksud dengan mudharib melaksanakan mudharabah yang kedua adalah kenyataan dalam lapangan bilamana sang mudharib dalam perniagaannya melakukan akad mudharabah kembali kepada orang lain dengan modal yang ia telah terima dari si pemilik modal. Menurut madzhab Hanafi hal ini tidak diperbolehkan kecuali jika modal itu diserahkan kepada pemilik modal. Golongan ini berpendapat bahwa mudharib pertama tidak bertanggung jawab terhadap modal yang diserahkannya kepada mudharib kedua kecuali jika yang terakhir ini telah benar-benar melaksanakan perniagaan dan mendapatkan keuntungan atau kerugian. Pembagian keuntungan di sini adalah sebagai berikut. Sang pemilik modal mendapatkannya sesuai dengan kesepakatan antara dia dan mudharib pertama. Sementara itu bagian keuntungan dari mudharib dibagi berdua dengan mudharib yang kecua sesuai dengan porsi bagian yang telah disepakati antara keduanya.
Berkaitan dengan hak-hak mudharib yang dapat ia nikmati pada saat menjalankan usaha mudharabah yaitu:
a. Bea operasi dan keuntungan yang disepakati dalam kontrak. Hanafiyah tidak membolehkan mudharib menggunakan modal mudharabah untuk bea operasi kecuali diizinkan oleh pemodal. Sedangkan jumhur ulama membolehkannya. Adapun besarnya bea operasi ini ditentukan oleh kebiasaan yang berlaku dengan menghindari kemubadziran. Bea operasi ini akan diambil dari keuntungan , jika memang ada. Apabila ternyata usaha ini tidak mendapatkan keuntungan, maka hal itu diambilkan dari modal karena merupakan bagian penyusutan dari modal.
b. Sang mudharib mendapatkan bagian keuntungan yang telah disepakati dalam kontrak jika memang menghasilkan laba. Jika tidak ada laba, maka mudharib tidak mendapatkan apa-apa.
Berkaitan dengan sang pemilik modal. Sudah jelas bahwa ia berhak mendapatkan labanya yang telah ditentukan porsinya di depan pada waktu akan disetujui.
I. Pembatal Mudharabah.
Akad mudharabah akan berakhir atau batal dengan kejadian-kejadian di bawah ini.
1. Mudharabah gugur atau batal karena fasakh atau ada larangan untuk mengelola dan ini dinyatakan dalam persyaratan
2. Meninggalnya salah satu dari orang yang melaksanakan akad seperti meningalnya pemilik modal atau mudharib. Mudharabah berakhir karena akad mudharabah ini mengandung arti perwakilan dan dalam suatu akad yang menerima perwakilan menjadi gugur atau batal jika yang mewakilan atau yang melaksanakan perwakilan itu meninggal dunia
3. Salah satu pihak hilang akal seperti gila. Ini membatalkan mudharabah karena penyakit gila menghilangkan "ahliah" orang tersebut. Ahliah ialah kemampuan orang untuk dapat dibebani oleh hukum.
4. Murtadnya si pemilik modal atau terbunuh dalam keadaan murtad. Ini tidak berlaku bagi sang mudharib.
5. Hancurnya modal di tangan mudharib sebelum dapat dilaksanakan kontrak mudharabah ini. Ini membatalkannya karena tidak memungkinkan lagi dilanjutkan implementasi akad mudharabah karena modalnya tidak ada.
BAB III
PENUTUP
Perekonomian adalah salah satu sendi kehidupan yang penting bagi manusia, oleh al-Qur'an telah diatur sedemikian rupa. Riba secara tegas telah dilarang karena merupakan salah satu sumber labilitas perekonomian dunia. Al-Qur'an menggambarkannya sebagai orang yang tidak dapat berdiri tegak melainkan secara limbung bagai orang yang kemasukan syaithan.
Penerapan akad mudharabah dalam sistem Perbankan disamping mencerminkan semangat ilahiyah dalam berekonomi juga menjadi nilai tambah (value added) dari perspektif konsumen/nasabah.
Penyusun berharap Lembaga-Lembaga ekonomi syariah dapat membenahi kekurangan-kekurangannya agar benar-benar siap menggantikan sistem kapitalis yang sudah mendarah daging di Indonesia. Jangan sampai syariah hanya menjadi trend yang suatu saat akan menghilang “bak di telan bumi”.
REFERENSI
Al-Qur’an dan Terjemahan
Ath-Thayyar, dkk. 2009. Ensiklopedia Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab. Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif
Sabiq, Sayyid. 2008. Fiqih Sunnah Jilid 4. Cet. III. Jakarta Pusat: pena Pundi Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar