Kamis, 20 Agustus 2009
HUKUM PAJAK
Pajak adalah iuran wajib yang dibayarkan oleh wajib pajak berdasarkan norma–norma hukum untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran kolektif guna meningkatkan kesejahteraan umum yang balas jasanya tidak diterima secara langsung . Pajak yang ada sekarang ini sebenarnya sudah dikenal sejak zaman dahulu. Zaman dahulu , pajak dikenal dengan sebutan upeti. Upeti merupakan sejumlah uang emas dan harta lainnya yang dipersembahkan kepada raja yang berkuasa dan dijadikan sebagai sumber penerimaan untuk membiayai negara atau kerajaanya.
Di Indonesia, Undang-Undang mengenai pajak diatur dalam Undang-Undang No. 16 tahun 2000. DidalamUndang-Undang tersebut berisikan mengenai aturan-aturan dan ketentuan serta tata cara dalam melakukan hal yang berhubungan dengan pajak. Setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat , wajib membayarkan pajak kepada pemerintah. Orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu disebut sebagai wajib pajak.
Apakah sebenarnya fungsi dari pajak?
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23 ayat 2, disebutkan bahwa “segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.” Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki fungsi yang luas antara lain sebagai sumber pendapatan negara yang utama, pengatur kegiatan ekonomi, pemerataan pendapatan masyarakat, dan sebagai sarana stabilisasi ekonomi. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Setiap wajib pajak diwajibkan untuk membayar pajak sesuai dengan masa pajak. Masa pajak merupakan jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) bulan takwim atau jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan takwim.
Adapun hal lainnya yang menyangkut tentang waktu pemenuhan pajak yaitu 1 (satu) tahun takwim kecuali bila wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim. Bagian tahun dalam pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) tahun pajak.
Sistem pemungutan pajak di Indonesia pada saat ini menggunakan full self assessment system yang artinya dalam penghitungan dan pemungutan pajak dilakukan oleh wajib pajak sendiri dan bila menemui kesulitan ,wajib pajak dapat bertanya pada aparat pajak. Selain itu dengan full assessment sistem wajib pajak harus menghitung sendiri jumlah seluruh penghasilan yang telah diperolehnya, menghitung sendiri jumlah pajak yang terutang, menghitung sendiri jumlah pajak yang telah dibayar atau dapat dikreditkan, menghitung sendiri jumlah pajak yang masih harus dibayar, menyetor sendiri jumlah pajak yang masih harus disetor ke Kas Negara via bank persepsi, dan wajib pajak wajib mengisi serta melaporkan sendiri Surat Pemberitahuan (SPT) dan Surat Setoran Pajak (SSP) ke DJP/ kantor pajak Dalam self-assessment sistem, fungsi aparat pajak adalah memberikan penyuluhan, pembinaan, dan pelayanan serta melakukan pengawasan atas kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Tahap awal seorang wajib pajak adalah mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Nomor Pokok Wajib Pajak yaitu nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Berhubung penghitungan pajak dilakukan oleh wajib pajak sendiri maka dapat dikatakan, dapat saja terjadi penyelewengan dari pembayaran pajak yang seharusnya. Apabila hal tersebut terjadi maka wajib pajak dapat dikenakan sanksi yang berupa sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi sendiri oleh wajib pajak dan apabila jangka waktu yang ditetapkan telah lewat, maka sanksi administrasi ditambahkan berupa bunga sebesar 48% dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.
Wajib pajak yang tidak taat dengan aturan perpajakan (sudah mencapai tahap yang harus ditindak tegas) akan dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Menurut Mar''ie Muhammad, Mantan Menteri Keuangan Indonesia , di dalam pasal 38, RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ,jika kealpaan pembayaran pajak menimbulkan kerugian negara, wajib pajak dapat dikenakan sanksi pidana kurungan dan atau denda. Mengingat penerapan aturan perpajakan tidak matematis dan umumnya masyarakat tidak menguasai aturan perpajakan dan aturan perpajakan banyak yang intepretatif (tergantung dari intepretasi petugas pajak), maka sebaiknya kita kembali kepada prinsip pajak, yaitu untuk penerimaan negara.
Jadi, jika indikasinya cukup bahwa pembayar pajak hendak melalaikan dengan sengaja pembayaran pajaknya, dikenakan sanksi denda dan berikan sanksi yang berat. Hukuman pidana hanya dikenakan melalui putusan pengadilan, hal ini penting agar ada kepastian hukum dan tidak menjadi alat tarik ulur antara petugas pajak dan pembayar pajak. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah mengenai keseimbangan antara kepentingan pemerintah dan pembayar pajak. Menurut paradigma lama, kepentingan pemerintah sama dengan kepentingan negara harus diubah dan pemerintah hanya salah satu stakeholder untuk menjaga kepentingan negara. Ini karena masih ada stakeholder lain, yaitu DPR, kelompok kepentingan, dunia usaha, dan masyarakat sipil. Dengan demikian , kita dapat mengetahui sekilas mengenai serba-serbi tentang pajak serta sedikit tentang tatacara pajak serta konsekuensi dari adanya penyelewengan terhadap masalah pajak di Indonesia.
Diharapkan pada waktu mendatang ,kebijakan pajak dapat semakin membantu pembangunan serta kemajuan negara di berbagai bidang. Oleh karena itu, kita sebagai wajib pajak dihimbau agar menjadi seorang wajib pajak yang baik, taat pada hukum. Karena dengan membayar pajak, kita sebagai warga negara pun ikut menyukseskan pembangunan dan kinerja negara.
Pajak itu sendiri telah di klasifikasi menjadi beberapa bagian. Adapun jenis-jenis pajak:
1 Bea Materai (BM)
2 Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB)
3 Pajak Bumi Dan Bangunan(PBB)
4 Pajak Pertambahan Nilai(PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah(PPNBM)
5 Pajak Penghasilan (PPh)
1. Bea Materai
• Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan;
• Benda meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah RI;
• Tandatangan adalah tandatangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk pula parap, teraan Atau cap tandatangan atau cap parap, teraan cap nama atau tanda lainnya sebagai pengganti tandatangan;
• Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea meterainya belum dilunasi sebagaimana mestinya;
• Pejabat Pos adalah Pejabat Perusahaan Umum Pos dan Giro yang diserahi tugas melayani permintaan pemeteraian kemudian.
A . Saat Terutang Bea Meterai
Ditentukan dalam hal:
1. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen itu diserahkan;
2. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari salah satu pihak, adalah pada saat selesainya dokumen itu dibuat;
3. Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia.
• Pihak yang Terutang Bea Meterai
Adalah pihak yang menerima atau mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain.
• Pelunasan Bea Meterai
Atas dokumen menggunakan cara dengan menggunakan benda meterai; atau dengan menggunakan cara lain; misalnya membubuhkan tanda-tera sebagai pengganti benda meterai di atas dokumen dengan mesin teraan.
• Sanksi Tidak atau Kurang Melunasi Bea Meterai
Dokumen yang terutang/dikenakan Bea Meterai yang tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar. Pemegang dokumen atas dokumen yang tidak atau kurang dibayar Bea Meterainya harus melunasi Bea Meterai yang terutang berikut dendanya dengan cara pemeteraian kemudian.
Dokumen-dokumen yang Dikenakan Bea Meterai dengan tarif Rp. 3.000,-
Surat yang memuat jumlah uang, yaitu:
1). Menyebutkan penerimaan uang;
2). Menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank;
3). Berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;
4). Berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan;yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp.250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah);
Dikenakan Bea Meterai dengan tarif Rp. 6.000,-
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang, dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;
b. Akta-akta notaris termasuk salinannya;
c. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap rangkapnya;
d. Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep; atau
e. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, yaitu: Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaandan lain-lainnya
B. Cara Pelunasan Bea Meterai
1. Meterai Tempel
a. Meterai tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen yang dikenakan Bea Meterai;
b. Meterai tempel direkatkan di tempat dimana Tanda tangan akan dibubuhkan;
c. Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan ada diatas kertas dan sebagian lagi di atas meterai tempel;
d. Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian di atas semua meterai tempel dan sebagian di atas kertas.Apabila cara diatas tidak dipenuhi, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.
2. Kertas Meterai
Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya di atas kertas meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai; 2. Membubuhkan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu diatas kertas Meterai; 3. Kertas meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi. Apabila ketentuan diatas tidak dipenuhi, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan mesin teraan meterai hanya diperkenankan kepada penerbit dokumen yang melakukan pemeteraian dengan jumlah rata-rata setiap hari minimal sebanyak 50
2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan( BPHTB)
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta bangunan di tasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya.
A. Objek Pajak
Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan Pemindahan hak karena: 1. jual beli;2. tukar-menukar;3. hibah;4. hibah wasiat;5. waris;6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;8. penunjukan pembeli dalam lelang;9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;10.penggabungan usaha;11.peleburan usaha;12.pemekaran usaha;13.hadiah.b. Pemberian hak baru karena: 1. kelanjutan pelepasan hak;2. di luar pelepasan hak. Hak atas tanah adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun atau hak pengelolaan.
B. Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan BPHTB
Adalah objek pajak yang diperoleh: a).Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; b).Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum; c).Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut; d).Orang pribadi atau badan atau karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; e).Orang pribadi atau badan karena wakaf; f). Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
C. Subjek Pajak
Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek Pajak sebagaimana tersebut diatas yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
D. Tarif Pajak
Tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
E. Dasar Pengenaan BPHTB
Dasar Pengenaan Pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dalam hal;
1. Jual beli adalah harga transaksi;
2. Tukar-menukar adalah nilai pasar;
3. Hibah adalah nilai pasar;
4. Hibah wasiat adalah nilai pasar;
5. Waris adalah nilai pasar;
6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
8. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
9. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
10. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
11. Penggabungan usaha adalah nilai pasar;
12. Peleburan usaha adalah nilai pasar;
13. Pemekaran usaha adalah nilai pasarn.
14. Hadiah adalah nilai pasar;
15. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam RisalahLelang; Apabila NPOP dalam hal a s/d n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP PBB yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan , dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP PBB.
F. Pengenaan BPHTB
1. pengenaan BPHTB karena waris dan Hibah Wasiat BPHTB yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% dariBPHTB yang seharusnya terutang.
2. Pengenaan BPHTB karena pemberian HakPengelolaan. Besarnya BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan adalah sebagai berikut:-0% (nol persen) dan BPHTB yang seharusnya terutang terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/kota, Lembaga Pemerintah lainnya, dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas); -50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan selain dimaksud diatas.
3. Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994.PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.
A. Objek PBB
Objek PBB adalah “Bumi dan atau Bangunan”:
Bumi: Permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada di pedalaman serta laut wilayah Indonesia, Contoh : sawah, ladang, kebun, tanah. pekarangan, tambang,dll.
Bangunan : Konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan.Contoh : rumah tempat tinggal, bangunan tempat usaha, gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, emplasemen, pagar mewah, dermaga, taman mewah, fasilitas lain yang memberi manfaat, jalan tol, kolam renang, anjungan minyak lepas pantai, dll
B. Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan PBB
Objek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah objek yang :
1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan, seperti mesjid, gereja, rumah sakit pemerintah, sekolah, panti asuhan, candi, dan lain-lain,
2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu.
3. Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
4. Digunakan oleh perwakilan diplomatik berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
5. Digunakan oleh badan dan perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
C. Subjek Pajak dan Wajib Pajak
Subyek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata:- mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau;- memperoleh manfaat atas bumi, dan atau;- memiliki bangunan, dan atau;- menguasai bangunan, dan atau;- memperoleh manfaat atas bangunan.Wajib Pajak adalah Subyek Pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak.
D. Cara Mendaftarkan Objek PBB
Orang atau Badan yang menjadi Subjek PBB harus mendaftarkan Objek Pajaknya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama, Kantor Pelayanan PBB (KP PBB), Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) atau Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) yang wilayah kerjanya meliputi letak objek tersebut, dengan menggunakan formulir Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang tersedia gratis di KPP Pratama, KP PBB, KP2KP atau KP4 setempat.
E. Dasar Pengenaan PBB
Dasar pengenaan PBB adalah “Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)”. NJOP ditetapkan perwilayah berdasarkan keputusan Menteri Keuangan dengan mendengar pertimbangan gubernur serta memperhatikan:a).Harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar; b).perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya;c).nilai perolehan baru;d).penentuan Nilai Jual Objek Pajak pengganti.
Contoh : A menjual tanah kepada B pada tanggal 2 Januari 1996.Kewajiban PBB Tahun 1996 masih menjadi tanggung jawab A. Sejak Tahun Pajak 1997 kewajiban PBB menjadi tanggung jawab B. Pajak yang terjadi setelah tanggal 1 Januari akan dikenakan pajak pada tahun berikutnya.
Contoh : A menjual tanah kepada B pada tanggal 2 Januari 1996. Kewajiban PBB Tahun 1996 masih menjadi tanggung jawab A. Sejak Tahun Pajak 1997 kewajiban PBB menjadi tanggung jawab
4. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
b. Impor Barang Kena Pajak;
c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean didalam Daerah Pabean;
e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atauf.Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP dan atau ekspor BKP yang dikenakan pajak berdasarkan Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai yang wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, tidak termasuk Pengusaha Kecil, yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Pengusaha Kecil
Pengusaha Kecil dibebaskan dari kewajiban mengenakan/memungut PPN atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) sehingga tidak perlu melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, kecuali apabila Pengusaha Kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka Undang-undang PPN berlaku sepenuhnya bagi Pengusaha Kecil tersebut.Pengusaha Kecil adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp. 600.000.000,00 (Enam ratus juta rupiah).
Barang Dan Jasa Yang Tidak Dikenakan PPN
Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak, sehingga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kecuali jenis barang dan jenis jasa sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4A Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tidak dikenakan PPN, yaitu:
Tarif PPN & PPnB
1. Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen)
2. Tarif PPnBM adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen)
Contoh Cara Menghitung PPN & PPnBM
1. PKP “A” dalam bulan Januari 2001 menjual tunai Barang Kena Pajak kepada PKP “B” dengan Harga Jual Rp. 25.000.000,00 PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP “A” = 10% x Rp. 25.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00 PPN sebesar Rp. 2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak “A”.
2. PKP “B” dalam bulan Pebruari 2001 melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian sebesar Rp. 15.000.000,00 PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP “B” = 10% x Rp. 15.000.000,00 = Rp. 1.500.000,00 PPN sebesar Rp. 1.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak “B”.
3. Pengusaha Kena Pajak “C” mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor sebesar Rp. 35.000.000,00 PPN yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = 10% x Rp. 35.000.000,00 = Rp. 3.500.000,00
4. Pengusaha Kena Pajak “D” mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah dengan Nilai Impor sebesar Rp. 50.000.000,00 Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut selain dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM misalnya dengan tarif 20%. Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut adalah:
a. Dasar Pengenaan Pajak Rp. 50.000.000,00b. PPN = 10% xRp. 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00. PPnBM = 20% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 10.000.000,00. Kemudian PKP “D” menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian dari suatu BKP yang atas penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM dengan tarif misalnya 35%. Oleh karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor tersebut tidak dapat dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp. 10.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam harga BKP yang dihasilkan oleh PKP “D” atau dibebankan sebagai biaya. Misalnya PKP “D” menjual BKP yang dihasilkannya kepada PKP “X” dengan harga jual Rp. 150.000.000,00 maka penghitungan PPN dan PPn BM yang terutang adalah :
a. Dasar Pengenaan Pajak Rp. 150.000.000,00b. PPN = 10% x Rp. 150.000.000,00 = Rp. 15.000.000,00.
b. PPnBM = 35% x Rp. 150.000.000,00 = Rp. 52.500.000,00 PPN sebesar Rp. 5.000.000,00 yang dibayar pada saat impor merupakan pajak masukan bagi PKP “D” dan PPN sebesar Rp. 15.000.000,00 merupakan pajak keluaran bagi PKP “D”. Sedangkan PPnBM sebesar Rp. 10.000.000,00 tidak dapat dikreditkan. Begitu pun dengan PPnBM sebesar Rp. 52.500.000,00 tidak dapat dikreditkan oleh PKP “X”
5. Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan terhadap orang pribadi dan badan, berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak.
Subjek Pajak Penghasilan
Subjek PPh adalah orang pribadi; warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak; badan; dan bentuk usaha tetap (BUT).
Tidak termasuk Subjek Pajak
1. Badan perwakilan negara asing;
2. Pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat:
a. bukan warga Negara Indonesia;
b. di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut; serta• negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
3. Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :
a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
b. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :
a. bukan warga negara Indonesia;
b. tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Objek Pajak Penghasilan
Objek Pajak Penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP), baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk :
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang Pajak Penghasilan;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:-keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;-keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota;-keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,pemecahan atau pengambilalihan usaha; -keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak pihaky ang bersangkutan;
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar